Oleh : Kombes Pol. Dr. dr. Summy Hastry Purwanti,SpF
Penyakit Coronavirus 2019 atau sering dikenal dengan COVID 19, merupakan penyakit baru yang misterius berawal dari Wuhan, Cina1. Awalnya penyakit ini hanya dianggap sebagai pneumonia yang etiologinya belum diketahui. Namun dengan perkembangan teknologi, penyebab penyakit ini diumumkan oleh Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Tiongkok (CDC Cina) pada 08 Januari 2020, sebagai virus corona baru dan belum pernah ada sebelumnya.2 Seiring bertambahnya hari, perkembangan virus ini semakin meluas, bahkan pada tanggal 31 Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa COVID-19 merupakan keadaan darurat kesehatan masyarakat dan menjadi suatu perhatian internasional yang memiliki risiko tinggi. Secara global jumlah penyebaran COVID-19 sangat cepat, bahkan pada 11 Maret 2020 WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi setelah penyebaran virus tersebut telah mencapai 114 negara.
Selama masa lalu tiga bulan, pandemi yang sangat menular ini juga menciptakan beberapa tantangan bagi praktisi forensik di Tiongkok. Hal ini penting bagi para praktisi forensik untuk meningkatkan kesadaran akan perlindungan dan mengumpulkan pengalaman dalam penyelidikan kematian medikolegal akibat penyakit menular. Tidak hanya berpengalaman dalam menangani mayat terinfeksi Covid 19 tetapi juga harus bisa memberikan penyuluhan kepada masyarakat Indonesia yang multikultural.
Potensi risiko yang dihadapi oleh praktisi forensik yakni Risiko potensial selama melakukan perawatan jenazah post mortem kematian karena Covid-19 membutuhkan proses secepatnya. Dan Penggunaan alat pelindung pribadi oleh semua personel di lokasi kematian sangat direkomendasikan.
Risiko potensial selama perawatan jenazah adalah 2019-nCoV memiliki daya tahan dan ketahanan yang kuat terhadap lingkungan dingin. Ini menunjukkan bahwa 2019-nCoV dapat bertahan pada mayat untuk jangka waktu tertentu setelah orang yang terinfeksi meninggal. Pasien yang telah meninggal karena COVID-19 mungkin memiliki jumlah virus yang sangat besar. Kriopreservasi dapat memperpanjang virus bertahan dalam tubuh.
Saat ini, rute transmisi 2019-nCoV yang diketahui adalah terutama tetesan pernapasan (dropplet), aerosol, dan kontak dengan sekresi virus. Selama perawatan jenazah, praktisi forensik dan petugas kesehatan lainnya akan kontak langsung dengan tubuh mayat tersebut yang mungkin mengeluarkan sekret atau cairan yang keluar dari mulut, hidung atau tempat lain yang sangat infeksius dan berisiko tinggi menularkan kepada petugas pemulasaran jenazah.
Tindakan yang telah kami ambil dalam praktik forensik
Apakah ada risiko penularan dari jenazah ?
Jawabannya iya, penularannya bisa dari droplet (percikan air) dan aerosol (uap nafas) yang tertinggal di lingkungan sekitar jenazah dan yang keluar akibat proses pemindahan jenazah. Bahkan di salah satu penelitian, disebutkan virus ini bisa tahan berhari-hari pada benda mati (tidak hanya mayat). Zona-zona yang rentan, terutama di ruang rawat (ruang isolasi), zona menuju kamar mayat, di kamar mayat dan di ambulans jenazah. Zona-zona ini adalah zona yang sangat berisiko jika kita berada disana tanpa pakaian / alat pelindung diri (APD) yang sesuai.
Pertanyaan kedua, berhubungan dengan bagaimana penanganannya supaya tidak menular? Pakaian / alat pelindung diri (APD) yang sesuai sangat berperan untuk melindungi diri kita dari risiko penularan. Tetapi itu saja tidak cukup, harus ditambah dengan mengurangi risiko menularkan oleh jenazah dan oleh lingkungan. Cara mengurangi risiko penularan infeksi dari jenazah, yaitu dengan cara menangani / mengurus jenazah dengan benar, langkah-langkahnya adalah sebagai berikut : lubang-lubang pada jenazah (hidung, mulut, mata dan lainnya ditutup dengan kapas/kasa yang telah diberi disinfekatan), bungkus dengan plastik beberapa lapis, kemudian plastiknya kita desinfektan lagi, setelah itu yang muslim bisa kita kafani, lalu kita bungkus lagi dengan beberapa lapis plastik, lalu didesinfektan lagi, baru dimasukkan ke peti mayat (terbuat dari kayu tebal, dan bisa ditambah dengan lapisan logam), peti kita lem dan paku/sekrup, terakhir peti kita desinfektan. Sampai tahap ini, jenazah sudah tidak menularkan lagi.
Tapi bagaimana dengan risiko lingkungan menularkan? Setiap kali selesai melakukan kegiatan, ruangan akan didesinfektan. Mulai dari ruangan isolasi, lorong / jalan yang sudah dilalui, ambulans, baju APD yang bekas dipakai, dan kamar jenazah. Baju APD yang disposibel (sekali pakai) dan bahan-bahan yang telah dipakai dibuang ke sampah infeksius dan dimusnahkan.
Kalau sudah aman, mengapa keluarga dilarang masuk dan jaga jarak? Pertama, karena jumlah APD terbatas (prioritas pengguna APD adalah tenaga kesehatan, kita khawatir jika banyak keluarga yang difasilitasi APD, untuk tenaga kesehatan tidak cukup lagi). Kedua, karena keluarga masih belum memahami bagaimana cara memakai (memakai tapi asal-asalan), belum memahami bagaimana bersikap selama di ruangan (tidak boleh memegang dan bersandar sembarangan), dan belum memahami bagaimana cara melepaskan APD yang benar. Ketiga, tidak menutup kemungkinan, diantara keluarga ada yang berstatus orang tanpa gejala (OTG), orang dalam pemantauan (ODP), atau orang dalam pengawasan (PDP), yang berpotensi menularkan kepada keluarga yang lain dan kepada petugas.
Pertanyaan ketiga, sejauh mana tingkat ketahanan virus?
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa virus ini bisa hidup berhari-hari pada benda mati. Tetapi logika kita berkata, perlu waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, untuk alam bisa merusak berlapis-lapis plastik dan merusak peti mati, yg berbahaya cairan dari tubuh jenazah ketika proses pembusukan, kuman masih tetap hidup dan infeksius.
Pertanyaan keempat, apakah dengan penanganan standar akan aman?
Ya, jenazah akan aman (tidak menularkan) dengan beberapa kali proses desinfektan, beberapa lapis plastik, dan juga dipetikan. Ditambah lagi dengan proses penguburan atau kremasi yang disegerakan. Yang patut kita waspadai sekarang dan lebih berbahaya adalah kerumunan, dalam hal ini ketika keluarga menguburkan / melayat, yang berpotensi saling menularkan jika diantara keluarga / pelayat ada yang OTG, ODP, PDP, atau bahkan sudah terkonfirmasi. Jadi, tidak ada alasan lagi untuk menolak jenazah Covid-19 dimakamkan.
Praktisi forensik harus mengenakan pelindung pakaian one-piece, masker respirator N95, pelindung wajah (face shield), pelindung/penutup sepatu, dan setidaknya dua lapis sarung tangan lateks medis. Tidak kalah pentingnya adalah harus menyadari urutan yang tepat untuk mengenakan dan melepas APD. Petugas yang mengelola jenasah harus memakai alat pelindung di area bersih sebelum memasuki area semi-terkontaminasi. Setelah selesai pemusalaran jenazah APD harus di disinfektan di area semi-terkontaminatif untuk kedua kalinya sebelum keluar. Semua APD harus di buang di tempat pembuangan yang aman.
Kesimpulan Masyarakat tidak perlu takut dengan penularan virus dari jenazah yang terinfeksi Covid-19, karena dapat dihindari dengan cara proses manajemen yang baik dan benar untuk jenazahnya maupun bagi petugas yang mengelola jenazah tersebut yaitu menggunakan APD yang standar. Masyarakat juga harus disiplin mengikuti prosedur yang telah ditetapkan.